TUGAS 3 REKAYASA KEBUTUHAN D

 MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System)

 

Pada 1 Desember  2010, Airbus telah menghasilkan iterasi terbaru dari pesawat A320 yaitu A320neo dengan peningkatan efisiensi bahan bakar sebanyak 6 persen dari versi sebelumnya. Hal ini membuat Boeing harus memutuskan untuk membuat desain yang baru atau dengan memodifikasi desain yang sudah ada yaitu B737 yang merupakan salah satu pesawat komersial yang paling banyak digunakan di dunia.

Dalam menghadapi ancaman eksistensial dari A320neo, eksekutif Boeing mengambil keputusan dalam hitungan minggu. Perusahaan akan meluncurkan 737 generasi keempat, dan akan melakukannya dalam waktu singkat. Boeing dapat menghemat miliaran dolar dalam biaya rekayasa dengan mendasarkan Max dari platform 737. Itu memberi perusahaan, awal yang baik dalam pekerjaan RND. Boeing berharap, untuk memungkinkan Max mengudara hanya beberapa bulan setelah A320neo.

Tetapi para insinyur proyek harus mengatasi beberapa tantangan besar agar dapat menyelesaikannya tepat waktu. Yang pertama adalah platform 737 itu sendiri. Dibutuhkan banyak pekerjaan untuk memperbarui desain yang sudah berusia 46 tahun dengan semua teknologi yang dibutuhkan untuk menjadi seefisien kompetitornya.

Pada saat yang sama, para desainer tidak dapat memperbaruinya terlalu banyak. Secara hukum, seorang pilot hanya dapat menerbangkan satu jenis pesawat dalam satu waktu. Namun, FAA mengizinkan model pesawat yang berbeda dengan karakteristik desain yang serupa untuk berbagi "sertifikat tipe" yang sama. Jadi, misalnya, tiga generasi 737 sebelumnya semuanya memiliki sertifikat tipe yang sama. Ketika Anda memenuhi syarat pada satu model, Anda dapat menerbangkan semuanya.

Untuk mengalahkan Airbus, itu harus melanggar satu hukum manajemen proyek yang tidak dapat dipatahkan: bahwa siklus pengembangan tidak bisa cepat, murah, dan bagus. Jika gagal, Airbus dapat mengusai pasar senilai $35 miliar untuk pesawat narrow body selama satu dekade atau lebih. Jadi Boeing tidak boleh gagal

Cara Kerja MCAS

Karena Boeing memutuskan untuk menggunakan desain rangka yang sama namun menggunakan mesin yang lebih baru, terdapat sejumlah perubahan pada letak mesin di sayap. Mesin yang baru memiliki diameter yang lebih besar, sehingga apabila diletakkan dalam posisi yang sama dengan desain yang saat ini ada, akan menyebabkan jarak dari permukaan sangat kecil. Oleh karena itu posisi mesin diletakkan lebih maju dan tinggi dibandingkan generasi sebelumnya.


Hal ini akan menimbulkan torsi yang ingin menaikkan hidung pesawat. Oleh karena Boeing harus memenuhi syarat agar masih menggunakan sertifikasi 737 sebelumnya, Boeing menempatkan sebuah sistem MCAS yang akan melakukan kompensasi apabila hidung pesawat naik diatas batas wajar.


Angle of attack yang terlalu besar inilah yang berisiko membuat pesawat stall kondisi di mana sayap tidak lagi menghasilkan lift untuk tetap mengudara. Fitur otomatis ini (MCAS), tetap aktif meski pesawat terbang dalam kondisi manual (Autopilot Off). Untuk melakukan perubahan tersebut, MCAS memanfaatkan trim (sebuah bagian kecil yang ada diujung elevator pesawat yang dapat mengubah posisi elevator) untuk menaikkan hidung pesawat secara incremental


Dikutip AVIATREN dari The Air Current, Jumat (16/11/2018), sistem ini akan aktif saat:

  • Angle of attack besar
  • Autopilot off
  • Flap (sirip tambahan di sayap) tidak menjulur keluar
  • Berbelok terlalu tajam (miring).


Sistem ini baru akan non-aktif saat angle of attack mengecil, atau pilot meng-override (mengambil alih kendali) dengan cara manual trim. Oleh karena itu, rekomendasi Boeing yag terbit setelah kecelakaan JT610 menyebut, jika terjadi anomali angle of attack, pilot diminta mengatur trim sendiri, baik dari tombol elektrik di setir pesawat, atau manual dengan memutar roda trim. Jika siklus tersebut terus berulang, Boeing juga menginstruksikan pilot untuk mematikan stabilizer trim lewat switch yang disediakan, dan tetap dalam kondisi mati (CUTOUT) sepanjang penerbangan. Anomali yang terjadi dalam penerbangan Lion Air JT610 sendiri menurut KNKT adalah sensor Angle of Attack (AoA) yang memberikan input yang mengacau atau berbeda-beda. Untuk dipahami, bahwa kecelakaan pesawat tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal. Banyak faktor di belakangnya yang turut memberi kontribusi terhadap kecelakaan pesawat. Fitur otomatisasi di 737 MAX dan kacaunya sensor AoA Lion Air JT610 adalah dua dari sekian banyak faktor yang sedang diinvestigasi KNKT.
 
Kemudian, pada 10 Maret 2019, bencana kembali terjadi. ET-AVJ, 737 Max 8 lainnya milik Ethiopian Airlines, lepas landas dari Addis Ababa, Ethiopia, menuju Nairobi, Kenya. Yang memimpin adalah Yared Getachew, kapten termuda maskapai itu. Di sebelah kanannya adalah Ahmed Nur Mohammed, seorang perwira pertama yang cukup baru. Stick shaker pada sisi kiri menyala tepat setelah lepas landas. Indikator ketinggian dan AoA di satu sisi pesawat tidak berfungsi. Sekitar 90 detik setelah lepas landas, dan segera setelah perwira pertama menarik flaps, pesawat itu tiba-tiba terjun. Perwira pertama berhasil mengidentifikasi masalah dan mematikan stab trim menjadi cutout. Namun kondisi nya pada saat itu adalah pesawat telah melebihi kecepatan maksimum sehingga hanya memiliki sedikit waktu untuk mengeluarkan pesawat dari posisi dive. 
 
Hampir tiga menit setelah mematikan MCAS, kru mengaktifkannya kembali. Mereka percaya bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk membuat pesawat kembali naik. Pilot mengatur trim mereka untuk menaikan hidung pesawat, namun kemudian MCAS aktif kembali untuk terakhir kalinya. Lima belas detik kemudian, pesawat itu jatuh dengan kecepatan lebih dari 500 knot di sebuah lapangan dekat kota Bishoftu, Ethiopia. Tak satu pun dari 157 penumpang yang selamat.

Kesalahan MCAS

Kesalahan MCAS yang pertama adalah bahwa sistem itu mempercayai data yang didapatkan walaupun data itu sebenarnya salah. MCAS hanya menggunakan data dari salah satu sensor Angle of Attack sehingga sistem ini akan gagal jika sensor AoA gagal. Sistem ini juga tidak bisa melakukan perbandingan dengan sensor AoA yang lain untuk melihat bahwa data yang didapatkan dapat diverifikasi atau tidak. Kegagalan sensor AoA inilah yang menyebabkan pesawat Lion Air 610 dan Ethiopian Airlines 301 jatuh.

Selain itu selama lima tahun terakhir, 50 penerbangan di pesawat komersial AS mengalami masalah sensor AoA, atau sekitar satu kegagalan untuk setiap 1,7 juta jam penerbangan komersial. Tentu, itu tingkat yang rendah, tetapi masih hampir enam kali di atas apa yang diizinkan FAA untuk sistem "berbahaya" yang seharusnya hanya gagal sekali setiap 10 juta jam terbang

FAA tidak menangkap fakta bahwa versi MCAS yang sebenarnya diinstal pada 737 Max jauh lebih bertenaga daripada versi yang dijelaskan dalam spesifikasi desain. Di atas kertas, MCAS seharusnya hanya menggerakkan stabilizer horizontal 0,6 derajat pada satu waktu. Pada kenyataannya, itu bisa menggerakkan stabilizer sebanyak 2,5 derajat pada satu waktu, sehingga secara signifikan lebih kuat ketika memaksa hidung pesawat ke bawah.

Sumber 

https://www.theverge.com/2019/5/2/18518176/boeing-737-max-crash-problems-human-error-mcas-faa
https://aviatren.com/2018/11/16/mengenal-mcas-fitur-otomatis-di-737-max-yang-baru-diungkap-boeing-setelah-kecelakaan-lion-air-jt610/

Comments

Popular posts from this blog

Studi Kasus 1 Rekaya Kebutuhan D

Tugas 4 Rekayasa Kebutuhan D